Oleh: Lutfi Bayu Susanto

Bhaskara.id – Bicara mengenai keamanan digital di masa sekarang ini, tentu tidak akan jauh pembahasannya menganai data-data yang ada di dunia digital, seperti data pribadi, data pemerintah dan data-data masyarakat. Selain pembahasan keamanan data digital yang  membahas data-data tersebut, saya kira pemahaman atas apa itu keamanan data digital sudah sepantasnya dimengerti oleh khalayak luas. Sebab, keamanan digital adalah hak setiap warga negara memupunyai perlindungan privasi mereka di dalam dunia digital.

Kemananan Digital

Keamanan digital pada dasarnya merupakan suatu aturan yang dapat melindungi data digital. Data digital individu atau kelompok. Menurut Maryam Fitriani dalam kilas kementerian menyatakan bahwa keamanan digital adalah upaya perlindungan terhadap aset dan informasi digital yang dimiliki suatu individu dan kelompok. Oleh karena itu, penting kiranya pemahaman keamanan digital sudah selayaknya diimplementasikan oleh khalayak luas, guna menjaga privasi mereka di dalam dunia digital.

Sederet kasus pembobolan data pernah terjadi di Indonesia. Menurut Caesar Akbar dalam berita yang ditulisnya di nasional tempo setidaknya terdapat 6 kasus pembobolan data pribadi di Indonesia. Pertama, kasus kebocoran data BPJS Kesehatan pada Mei 2021. Kedua, kebocoran data Cermati dan Lazada yang terjadi pada akhir tahun 2020. Ketiga, penjualan data nasabah BRI Life. Keempat, kebocoran data pengguna Tokopedia pada Mei 2020. Kelima, kebocoran data Komisi Pemilihan Umum pada 21 Mei 2020.

Maraknya pembobolan data dalam dunia digital membuat kita harus mawas diri dalam memberikan informasi pribadi di kanal digital tertentu. Tentunya, hal ini menjadi tanggung jawabnya pemerintah dan pemilik kanal digital yang pernah diretas. Mereka harus bertanggung jawab secara penuh dalam pemulihan data pribadi penggunanya. Selain pihak tersebut, sebagai pengguna digital yang bijak, sangat diperlukan pemahaman mengenai keamanan digital.

Menurut Arie Wibowo dalam workshop Cek Fakta dan Keamanan Digital yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Tulungagung, pada tanggal 14 dan 15 Oktober 2021 menyatakan bahwa keamanan digital kita dalam dunia digital perlu diwaspadai bersama. Berikut merupakan situs web untuk mengecek keamanan digital kita di dalam dunia digital menurut Arie Wibowo.

  1. howsecureismypassword.com

Alamat situs web di atas berfungsi untuk mengecek kekuatan password kita dalam platform tertentu. Pemilihan password yang kuat dan ideal tentunya diperlukan untuk menghindari pembobolan data oleh pihak lain.

  1. https://haveibeenpwned.com

Alamat situs web di atas berfungsi mengecek keamanan akun email kita. Setelah mengetik nama akun email pada situs web tersebut, akan muncul penjelasan bahwa akun kita aman atau pernah terjadi kebocoran data pada platform tertentu yang pernah kita akses.

  1. gl/nchdhz

Alamat situs web di atas berfungsi untuk mengecek kebenaran foto yang digunakan di dalam berita. Pengecekan kebenaran isi foto dengan fakta-fakta aktual tentunya diperlukan guna menghindari kebohongan informasi yang disebarkan oleh produsen informasi hoaks.

Cek Fakta

Selain keamanan digital, kita juga harus mengetahui bagaimana mengenali informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Contohnya kehadiran internet dan media sosial, dua unsur tersebut merupakan jembatan penyebaran informasi dari produsen informasi kepada konsumen informasi.

Kehadiran internet dan media sosial membuat informasi saat ini bisa menyebar dengan cepat dan luas. Hadirnya internet tidak hanya membuat khalayak menjadi konsumen informasi saja, tetapi bisa secara aktif memproduksi informasi dan menyebarkan informasi. Akhirnya, dalam dunia digital, terjadi banjir informasi. Banjir informasi di dunia digital ditambah dengan kemudahan dalam penyebaran isi informasi yang seringkali membuat konsumen bingung apakah informasi tersebut benar atau bohong (hoaks). Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan dalam mengenali, menyaring, dan mengecek informasi.

Maraknya berita bohong yang tersebar di dunia digital disebabkan oleh produsen informasi yang tetap memproduksi informasi bohong. Kemudian produk informasi itu disebarkan di dalam dunia digital melalui akses media sosial dan internet. Sebagai contohnya adalah berita hoaks dari kasus penganiayaan Ratna Sarumpaet yang ramai di media sosial tahun 2018. Menurut Dias Prasongko dalam berita yang ditulisnya di Tempo.co, menyatakan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan polisi, Ratna Sarumpaet diketahui tidak dirawat di rumah sakit dan tidak melapor ke Polsek di Bandung dalam kurun waktu 28 September sampai 2 Oktober 2018. Berdasarkan penyelidikan kepolisian tersebut, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan bahwa Ratna Sarumpaet ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyebaran hoaks atau berita bohong. Kepolisian menjerat Ratna Sarumpaet dengan pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta pasal 28 juncto pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kasus di atas merupakan contoh dari penyebaran berita hoaks atau berita bohong. Penyebaran berita hoaks itu disebarkan melalui media sosial oleh Ratna Sarumpaet dan dipercayai oleh beberapa tokoh yang mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan Indonesia, seperti Prabowo Subianto dan Fadli Zon. Contoh kasus tersebut menggambarkan lemahnya warga negara Indonesia dalam mengenali, menyaring, dan mengecek informasi. Informasi-informasi yang tersebar di dalam media sosial seringkali langsung dianggap benar, tanpa mengecek terlebih dahulu kebenaran informasinya.

Menurut Inggried Dwi Wedhaswarry dalam workshop Cek Fakta dan Keamanan Digital menyatakan bahwa dis-misinformasi di sekitar kita dikategorikan menjadi dua ragam. Pertama, ragam misinformasi. Misinformasi merupakan suatu informasi yang salah, namun orang yang membagikan informasi percaya bahwa informasi yang disebarkan adalah informasi yang benar. Kedua, ragam disinformasi. Disinformasi merupakan suatu informasi yang salah dan sudah diketahui oleh penyebar informasi, tetapi informasi yang salah tetap disebarkan kepada khalayak.

Inggried Dwi Wedhaswarry juga menyatakan bahwa penyebutan hoaks boleh disebut dengan sebutan “hoaks” atau “hoax”. Selain itu, Inggried Dwi Wedhaswarry juga menjelaskan macam-macam misinformasi dan disinformasi. Macam-macam misinformasi, yaitu konten yang sengaja dibuat untuk menyesatkan, konten yang tidak nyambung dengan fakta-fakta, dan konten yang dibuat salah (konteks aslinya dihilangkan, sedangkan akibatnya disebarkan). Macam-macam disinformasi, yaitu konten yang dibuat untuk lucu-lucuan, konten yang dibuat untuk provokasi, dan konten yang dibuat untuk melemahkan jurnalisme.

Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan di atas, berita hoaks yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet dapat dikategorikan ke dalam ragam disinformasi. Karena Ratna Sarumpaet tentunya telah mengerti bahwa informasi yang akan disebarkannya melalui media sosial adalah informasi yang bohong dan tidak benar-benar terjadi dialami dirinya. Namun, Ratna Sarumpaet tetap menyebarkan berita bohong tersebut kepada khalayak melalui media sosial. Oleh karena itu, maka Ratna Sarumpaet adalah pelaku penyebar disinformasi. Pelaku penyebar disinformasi kepada khalayak, sudah sepantasnya mendapatkan hukuman dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Sebagaimana yang seharusnya dilakukan, adalah sesegera mungkin melindungi data-data privasi di dalam dunia digital dan meningkatkan kemampuan mengenali, menyaring, serta mengecek kebenaran informasi yang didapatkan. Hal itu sangat penting diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, wacana-wacana edukasi kepada khalayak terkait keamanan digital dan cek fakta perlu digaungkan lebih sering dan berkelanjutan. Wacana semacam ini merupakan tanggung jawab Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Pers Mahasiswa.