Kekerasan seksual merupakan permasalahan yang sedang marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 Komnas Perempuan, secara umum, menerima pengaduan kasus kekerasan seksual pada tahun 2022 yaitu sebanyak 457.895 kasus. Pelaporan ini dihimpun dari data lembaga layanan dan Badan Peradilan Agama (Badilag). Sementara pengaduan ke Komnas Perempuan meningkat menjadi 4.371 dari 4.322 kasus, dengan jumlah ini berarti rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 17 kasus/hari.

Kasus kekerasan seksual menyebar luas di semua ranah dan usia, dari yang muda dan produktif di berbagai ruang termasuk ruang siber. Sekolah dan Perguruan Tinggi yang notebanenya adalah tempat aman untuk menempuh pendidikan dan mengukir prestasi, rupanya tak dapat dikatakan sebagai ruang aman pula. Lembaga layanan korban kekerasan seksual menangani 9.806 kasus kekerasan seksual dan 355 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan. Kebanyakan dari pelaku kekerasan seksual merupakan orangorang terdekat korban. Bahkan data CATAHU 2023 Komnas Perempuan menyebutkan bahwa 8.6% dari jumlah pelaku merupakan orang-orang yang diharapkan menjadi pelindung, tauladan dan perwakilan negara contohnya pegawai negeri sipil (PNS), guru, dosen, dan lain-lain. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Pada kasus kekerasan seksual, apabila pelaku memiliki status hirarkis (sebagaimana telah disebutkan) yang lebih tinggi dibandingkan korban biasanya terjadi penyalahgunaan relasi kuasa atau power abuse. Relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan.atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Dengan adanya relasi kuasa, maka aktivitas seksual tidak berdasakan “persetujuan” penuh para pihak dan dapat menjadi faktor penyebab korban enggan untuk melaporkan kejadian yang telah menimpanya tersebut.

Selain adanya relasi kuasa, hal yang menjadi hambatan bagi korban dalam melaporkan kejadian yang telah dialaminya tersebut adalah victim blaming. Victim blaming (menyalahkan korban) merupakan sikap/perilaku yang menunjukkan bahwa korban sendirilah yang menjadi penyebab/melakukan kesalahan sehingga ia mengalami kekerasan seksual. Victim blaming banyak dijumpai di Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia belum menyadari bahwa tindakannya itu merupakan victim blaming dan malah menormalisasi tindakan tersebut. Tak jarang ditemukan komentar-komentar menyalahkan pakaian korban kekerasan seksual, padahal berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan selama 20 tahun (2001-2022) tidak pernah menyebutkan bahwa pakaian perempuan yang terbuka menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual. Pengaduan yang datang langsung ke Komnas Perempuan, pakaian perempuan tidak signifikan sebagai penyebab kekerasan seksual, semua dapat terjadi pada perempuan berpakaian terbuka hingga pakaian yang tertutup. Dalam CATAHU Komnas Perempuan 2022 tercatat mayoritas pelaku ialah orang-orang yang dikenal atau dekat dengan korban, bukan orang tak dikenal yang tertuju pada busana tertentu. Melalui fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual disebabkan oleh pakaian yang terbuka tidaklah benar, dan merupakan disinformasi atau menyebarkan informasi menyesatkan, hal yang dapat melanggar peraturan perundang-undangan.

Penanganan kasus kekerasan seksual tidak hanya memerlukan upaya pemerintah dan lembaga negara dalam menjalankan kewajibannya sebagai pihak yang memiliki tanggungjawab terhadap pemenuhan hak-hak korban dan pemberian sanksi bagi pelaku, disamping itu diperlukan adanya partisipasi masyarakat dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap kasus kekerasan seksual berdasarkan Pasal 85 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dengan cara memperkuat edukasi pencegahan kekerasan seksual, membangun komunikasi yang berkualitas sehingga dapat saling mencegah keberulangan kekerasan seksual, mendukung pemulihan korban termasuk membatasi gerak pelaku dalam menjangkau korban sehingga dapat memicu trauma korban, dan secara aktif berpihak pada korban dengan memberikan informasi yang dibutuhkan korban.