Bhaskara.id- Seakan kami lupa dengan jiwa kami sebagai maha siswa. Sayang dan sayang seribu sayang, kami sebagai maha siswa dihadapkan dengan politik abu. Sangat abu hingga demokrasi yang ingin kami junjung dibayang-bayangi ketakutan elit kampus. Padahal, kami hanya mahasiswa yang menonton sebuah mimbar demokrasi dan melihat dari kejauhan siapa dia sebenarnya.

Orang dengan ocehan yang “gila”-nya bila terus didengar. Tapi, apakah semua itu salah? Toh, itu hanya keluar dari mulut orang itu saja dan dianggap sebagai kritik terkeras dan menohok. Kami sebagai maha siswa mana tahu hal seperti itu. Kata si Mahasiswa. Yang kami tahu, dia orang politik yang akan menghadiri mimbar kampus kami.

Rocky Gerung, itu orangnya. Dirinya yang disebut sebagai filsuf, akademikus dan cendekiawan Indonesia, baru saja gagal menghadiri mimbar kampus kami. Saya sendiri masih heran, kenapa acara itu dibatalkan. Apakah sosok Rocky Gerung itu sendiri yang terlampau kontroversial? Siapa sebenarnya orang ini?

Mungkin. Jawabannya memang mungkin. Karna Rocky Gerung adalah orang dibalik kata satire penuh makna untuk Presiden Joko Widodo. Dirinya juga orang yang aktif menunjukkan sikap politiknya di berbagai wawancara ke media-media di Indonesia.

Tapi, siapa sebenarnya Rocky Gerung?

Rocky Gerung adalah pengamat politik dan juga pendiri ruang untuk pemikir di bidang demokrasi dan HAM bernama Setara Institute. Dirinya juga orang yang mengkaji filsafat feminisme. Katanya “Wanita itu indah sebagai fiksi dan berbahaya sebagai fakta”. Setuju atau tidak, banyak publik mengiyakan perkataan ini yang cantik namun benar adanya.

Tak sedikit jurnal yang telah Rocky Gerung buat yang salah satu nya berjudul “Tentang Etika Feminis”. Bahkan, Rocky pernah mendapatkan kehormatan untuk berpidato di pidato kebudayaan akhir tahun yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki pada akhir tahun 2010.

Pemikiran-pemikiran Rocky mulai dikenali publik setelah dirinya tampil di program Indonesian Lawyers Club awal tahun 2017. Kemunculannya yang menyebut pemerintah sebagai pembuat hoaks terbaik sukses menarik perhatian khalayak. Sekarang, Rocky aktif di media sosial dan memiliki 1,69 juta pengikut di Youtube dengan total 274,664,357 penayangan.

Dengan kanal youtube miliknya, Rocky mengajak masyarakat Indonesia untuk berpikir kritis terhadap peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Tepat, 1 Oktober 2023 lalu, Rocky mengajak publik untuk merenungkan makna hari kesaktian pancasila.

“Satu Oktober adalah garis batas, yang kemudian menjadikan bangsa ini mengingat peristiwa 30 September itu, seperti permulaan dimulainya ide pembangunan, perubahan dan kemakmuran seterusnya,” ungkap Rocky.

Lalu, apa yang salah dengan Rocky Gerung?

Pertanyaan itu kembali muncul di benak saya. Apa yang salah dengan Rocky Gerung ini? Hingga kontroversinya terus dan terus dibahas? Apakah orang akan setakut itu dengan sebuah gagasan dan ide-ide yang dilontarkan dari seseorang.

Pernyataan itu mengingatkan saya kepada satu buku novel “Uncle Tom’s Cabin” karya Harriet Beecher Stowe yang bercerita tentang perbudakan di Amerika. Adanya ide dan gagasan yang dipaparkan dalam buku ini menjadi penyebab Perang Saudara di Amerika. Dari sebuah kisah yang ditulis oleh gadis kecil bisa mengubah pandangan mata dunia.

Dari buku itu, saya menyadari kontroversi yang terus dilontarkan bisa menjadi gagasan untuk orang lain dan menjadi efek domino yang kuat dalam diri seseorang. Perasaan menggugah akan timbul dan gerakan-gerakan akan terjadi. Hingga akhirnya muncul perdebatan dari pihak yang merasa si paling benar.

Jika kita mengingat kembali, tahun depan adalah pesta demokrasi untuk seluruh masyarakat Indonesia. Setiap langkah bisa menjadi bumerang yang menyerang diri kita sendiri. Bukan menyumbat ruang demokrasi, tapi dari kacamata saya melihat Rocky Gerung sebagai sosok kontroversional, dirinya bukanlah sosok yang harus dicegal. Dimana dia berdiri, dia akan terus mengutarakan pendapatnya sebagai orang yang hidup di era demokrasi. Namun, saya juga melihat efek domino yang bisa saja disebabkan kemunculan sang kritikus di mimbar itu akan menjadi bumerang tersendiri bagi si maha siswa.

Mimbar yang kita kenal sebagai wadah menjunjung demokrasi akan dijadikan alat oleh pihak pemilik kepentingan. Saya yakin, hal itu bukan tidak mungkin saat masa pendaftaran untuk dimulainya pesta demokrasi hanya kurang dari satu bulan lagi. (BHAS/CH)