Oleh : Dini Fajar Khairunisa

Mengenal Pers dan HPN

Secara harfiah kata pers berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Press” yang artinya tekanan, menekan, mesin pencetak. Dalam hal ini “press” didefinisikan sebagai mesin cetak sehingga menghasilkan karya tulis yang dicetak dalam lembaran kertas (Iramdhan, 2019). Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 13, pengertian pers itu dibedakan dalam dua arti, yakni dalam arti luas dan arti sempit.  Pers dalam arti luas memiliki definisi sebagai media tercetak atau elektronik yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, pendapat, usulan dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Laporan yang dimaksud adalah setelah melalui proses mulai dari pengumpulan bahan sampai dengan penyiarannya. Sedangkan dalam pengertian sempit atau terbatas, pers adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah dan buletin, sedangkan media elektronik, meliputi radio, film dan televisi (Wahidin, 2011). Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono Tirto Adi Soerjo sendiri mendefinisikan pers sebagai sesuatu yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar (Iramdhan, 2019).

Lembaga Pers memiliki peran penting bagi masyarakat dan negara. Selain sebagai media informasi, pers juga memiliki peran sebagai penghubung komunikasi antara pemangku kekuasaan dan masyarakat, penyampai aspirasi dan kritik masyarakat, dan juga alat kontrol pemerintah. Produk luaran pers dapat memicu daya kritis masyarakat dan bertanggung jawab atas pembentukan opini masyarakat. Sekilas peran pers begitu sepele hanya menyampaikan informasi, namun di dalam negara demokrasi, peran pers sangatlah vital dan strategis. Pers merupakan pilar demokrasi keempat yang memiliki kedudukan setara dengan pilar demokrasi lainnya yaitu lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Pers memiliki peran menegakkan nilai – nilai demokrasi dengan mengawasi kerja pemerintah lewat pemberitaan kritik terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Perannya sangat strategis dimana pers mampu menghubungkan ketiga unsur tadi dengan masyarakat. Menurut Florangel Rosario Braid, pers dapat menjadi fasilitator, penghubung, katalisator dan juru bahasa (interpreter) menjadi forum dialog antara pemerintah (para pejabat) dengan rakyat. Demikian pula pers bisa menciptakan krisis, disamping menciptakan kewaspadaan dalam masyarakat (Surbakti, 2016)

Terdapat empat istilah yang familiar di telinga masyarakat, yaitu pers, jurnalistik, wartawan dan media. Keempatnya terlihat memiliki kesamaan makna dan sering disandingkan dengan kata berita, padahal sangat jelas berbeda. Istilah pers ditujukan kepada lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang penyiaran dan publikasi karya jurnalistik. Dalam pasal 1 butir (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mendefinisikan “pers” sebagai suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun media elektronik, dan segala saluran yang tersedia. Istilah jurnalistik didefinisikan sebagai kegiatan pencatatan, pelaporan, dan penyebaran berita tentang kegiatan sehari-hari (Qorib et al., 2019). Adapun wartawan adalah orang yang melakukan aktivitas jurnalistik dan bekerja di lembaga pers, dan media merupakan sarana publikasi hasil karya jurnalistik.

Sebelum Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 lahir, profesi wartawan dikhususkan kepada  pewarta untuk media cetak saja, sedangkan orang yang mencari berita untuk radio dan televisi tidak lazim disebut dengan wartawan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menjadi organisasi wartawan pertama di Indonesia. Oleh karenanya, PWI hanya memiliki anggota wartawan media cetak pada saat itu. Setelah turunnya Presiden Soeharto, pers menghirup udara segar dan memiliki kebebasan. Mulai saat itu muncullah organisasi pers lain selain PWI, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Wartawan Indonesia (IWI), Himpunan Wartawan Muslim Indonesia (HIWAMI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan lain-lain. PWI sendiri berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta, Jawa Tengah. Tanggal tersebut juga ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional. Sejarah Hari Pers Nasional tidak luput dari Sejarah perkembangan Persatuan Wartawan Nasional (PWI). Cikal bakal PWI sudah tumbuh sejak zaman colonial Hindia – Belanda dengan pembentukan Inlandsche Joernalisten Bond (IJB) pada 1914. IJB merupakan perkumpulan wartawan pribumi dan wadah persatuan dan advokasi para wartawan di zaman kolonial. Perintis berdirinya IJB antara lain tokoh jurnalis muda bernama Mas Marco Kartodikromo yang kala itu memimpin surat kabar berkala Sarotomo dan Doenia Bergerak dari Surakarta. Adanya beberapa organisasi jurnalis membuat wacana untuk menyatukan perkumpulan-perkumpulan wartawan itu. Akhirnya, pada Desember 1933 di Surakarta, dibentuklah Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI).

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncullah sebuah gagasan pembentukan organisasi wartawan pada masa kemerdekaan. Selanjutnya, diadakanlah pertemuan di Surakarta tanggal 9 Februari 1946 dan ditetapkannya pembentukan organisasi wartawan nasional dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ketua PWI pertama adalah Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo. Pada masa itu PWI berperan aktif dalam mengobarkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia dan semangat berkorban untuk melawan kolonialisme Belanda yang Kembali dating ke Indonesia. Organisasi ini menjadi lambang persatuan dalam mendukung pemerintah dan rakyat melawan kolonialisme Belanda.

Pada Kongres PWI ke-28 pada tahun 1978 di Padang dicetuskan adanya Hari Pers Nasional. Hari Pers Nasional ini tercetus oleh tokoh pers untuk mengingat peran dan kehadiran pers dalam lingkup nasional. HPN diperingati bergantian di Ibu kota provinsi setiap tahunnya. Tujuh tahun setelah dicetuskan HPN oleh PWI, diresmikanlah Hari Pers Nasional lewat Keputusan Presiden No. 05 tahun 1985 yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985

Independensi Lembaga Pers dalam Pesta Demokrasi

Pers memiliki pengaruh besar dalam terbentuknya pengetahuan masyarakat mengenai kondisi sekitar yang sedang berlangsung, pemahaman masyarakat tentang isu-isu panas yang sedang terjadi, dan juga daya kritisnya. Oleh karena itu, dalam menyampaikan informasi, lembaga pers maupun badan pers dituntut untuk se-objektif mungkin. Independensi pers dituntut untuk bisa menyampaikan informasi secara objektif tanpa terafiliasi pihak manapun dan kepentingan apa pun. Independensi Pers dapat tercapai ketika pers melaksanakan fungsinya sesuai UU Pers yakni sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Dalam Kode Etik Jurnalistik juga ditegaskan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Independensi ditafsirkan sebagai pemberitaan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Independensi Pers bukan perkara mudah untuk dilakukan. Tekanan dan tawaran menggiurkan dari pemerintah, dan pemilik bisnis yang terus tarik-menarik demi suatu kepentingan bisa saja menggoyahkan kepatuhan pers kepada kode etik pers. Terlebih pada tahun-tahun politik seperti sekarang ini. Tidak jarang media mudah terpeleset untuk tidak netral dan menampakkan kecondongan pada salah satu pasangan calon (paslon). Dalam beberapa kasus, kecondongan tertentu pada satu kontestan pemilu diperbolehkan apabila didasarkan pada argumentasi yang kuat, dan tidak berdasarkan pragmatisme politik. Namun yang dipertaruhkan dari sikap tidak netral adalah reputasi dan kredibilitas sebuah pers di mata publik. Publik lah yang akan menilai lembaga pers yang independen, lebih kredibel dan memiliki persepsi baik. Persepsi baik inilah yang menyumbang reputasi baik bagi si lembaga pers. Dengan kepemilikian lajur reputasi yang baik dimata masyarakat akan mengantarkan sebuah lembaga pers mengontribusi bisnis media yang berkembang dengan apik.

Dalam pesta demokrasi, lembaga pers yang biasanya menyoroti justru sekarang ikut mendapat sorotan. Tahun 2024 dimana dilaksanakan gelaran Pemilu serentak meliputi pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi/Kab/Kota, dan anggota DPD), sekaligus pemilihan kepala daerah (Pilkada) di seluruh Indonesia menjadikan masyarakat lebih banyak membaca berita dari produk luaran pers pada tahun politik ini dibanding tahun-tahun sebelumnya. Produk luaran pers akan menjadi pedoman masyarakat dalam memperoleh informasi dan menjadi sorotan untuk dipertanggungjawabkan keobjektifannya. Dalam hal ini, integritas dan tanggung jawab pers menjadi taruhan demi mencapai independensi dan netralitas sesuai dengan mandat kode etik jurnalis. Pers harus menjadi bagian yang mencerahkan dan mengawal pemilu secara fair dan ruang redaksi harus terbebas dari segala kepentingan pemilu. Pada tahun politik, independensi media dan pers semakin penting dalam menyampaikan kebenaran dan menyingkap fakta di tengah kontestasi politik yang kian menghangat. Tanpa adanya media yang menyajikan informasi yang berkualitas, berimbang, dan akurat, maka publik berpotensi tidak mampu mengambil keputusan yang tepat. Oleh karenanya media dan pers harus berani menyingkap fakta-fakta dari sisi paling terang maupun yang tergelap. Sikap ini akan membantu terpilihnya pemimpin yang mumpuni dan berkualitas untuk memimpin selama lima tahun ke depan.