Oleh: Lutfi Bayu Susanto

Wahai pembaca yang budiman, dewasa ini seringkali banyak orang mempertanyakan apa guna mempelajari sejarah? Apa manfaatnya? Apa juga pentingnya belajar sejarah? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bagai burung-burung Camar yang terbang di sabana luas. Sabana yang luas menjadi jawaban yang luas pula. Dengan demikian, pertanyaan yang dibawa oleh burung Camar sejatinya mengembara di antara jawaban-jawaban.

A. L. Rowse dalam bukunya Apa Guna Sejarah menyatakan bahwa sejarah adalah tentang kelompok masyarakat, ceritanya, dan proses bagaimana ia menjadi seperti itu. Mengetahui seperti apa masyarakat di masa lalu dan evolusi mereka akan memberikan petunjuk perihal faktor-faktor yang mengendalikan mereka, yang berupa motif dan konflik, baik umum maupun personal, yang membentuk berbagai peristiwa. Generalisasi saya atas pernyataan tersebut adalah sejarah sangat perlu dipelajari untuk melatih kita menganalisis peristiwa di masa lampau—yang kemudian menjadi pengayaan intelektual untuk mengambil keputusan dalam berbagai hal, misalnya, keputusan politik, kebijakan publik, dan semacamnya.

Indonesia adalah negeri merdeka, yang proses kemerdekaannya dicapai melalui berbagai dinamika peristiwa sejarah. Dalam urusan politik, sebagai negeri yang baru merdeka, Indonesia masih dilema dalam menentukan patron politik apa yang akan digunakan dalam membangun negeri. Pada masa awal kemerdekaan, pemilihan pemimpin negeri boleh dibilang diksanakan secara status quo, Soekarno pada waktu itu memang mendapat suara pendukung terbanyak dibanding dengan Tan Malaka. Ditambah pula dengan Soekarno menjalankan misi diplomasinya—ia kemudian paripurna naik menjadi orang pertama di Indonesia melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945.

Proses pemilihan Soekarno menjadi presiden tak berlangsung lama. Ia mendapat dukungan penuh dari Otto Iskandar Dinata—seorang anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Keberpihakan Otto kepada Soekarno itu, berperan penting membawa suara banyak untuk mendukung Soekarno. Pada saat itu, tanpa persiapan yang memadai, dalam badan PPKI tidak melahirkan tim pengawasan terhadap pemilihan Soekarno menjadi presiden. Sebab, PPKI pun sebenarnya terburu-buru dalam melaksanakan pelantikan terhadap Soekarno.

Nah, dimulai pada fase inilah, urusan politik di Indonesia menjadi penting—utamanya pada proses pemilihan kepemimpinan. Soekarno menjabat sebagai Presiden selama 22 tahun, yaitu sejak 1945–1967. Dinamika kepemimpinannya mulai terlihat ketika ia menjalankan pemerintahan dengan sistem presidensial. Sistem presidensial waktu itu belum mempresentasikan rakyat Indonesia secara utuh. Lembaga legislatif, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga belum sempat dibentuk.

Sistem pemerintahan presidensial yang idealnya dapat memberikan kewenangan penuh terhadap presiden dalam berbagai perumusan kebijakan, justru membuat kinerja presiden menjadi tidak terkontrol. Presiden seringkali mengambil alih dalam menetapkan kebijakan dan merumuskan kebijakan. Pada saat itu juga, idealnya kekuasaan eksekutif dipilih pada pemilihan umum, tetapi belum sempat terjalankan hingga kemudian sistem pemerintahan beralih menjadi konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949.

Kilas Sejarah Bawaslu

Pemilu nasional pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955. Lima tahun setelah Indonesia merdeka. Menurut Aman dalam Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan 1945–1998, pada pemilu 1955 muncul 4 kekuatan besar yang memenangkan pemilu. Keempat partai tersebut adalah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Dominasi PKI pada pemilu saat itu cukup tinggi, PKI mendapat suara sekitar 81 kursi di Konstituante. Pemilu tersebut merupakan pemilu nasional yang pertama kali digelar Indonesia.

Pemilu nasional tahun 1955 tidak diawasi oleh lembaga bentukan khusus presiden maupun Konstituante. Hal itu dikarenakan Konstituante baru dipilih pada pemilu nasional 1955 tersebut. Konstituante berfungsi sebagai dewan perwakilan—yang bertugas membentuk konstitusi baru bagi Indonesia. Artinya, pemilu nasional tahun 1955 dilaksanakan tanpa adanya pengawas pemilu. Hal ini kemudian menjadi niatan awal pembentukan Panitia Pengawas Pelaksanaan (PANWASLAK) pemilu.

Pergantian kepemimpinan Soekarno beralih ke Soeharto menjadi salah satu faktor penting dalam kehadirannya atau cikal bakal Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU). Pada saat itu, sekitar 1971, geliat suara masyarakat menuntut kejujuran dalam pemilu mengudara. Banyak suara masyarakat yang menginginkan pemilu diadakan secara ketat untuk mengurangi tingkat kecurangan yang berpotensial dilakukan oleh petugas pemilu. Krisis kepercayaan masyarakat dalam pemilu 1971 merupakan geliat awal pembaharuan sistem dalam pemilu nasional.

Sampai kemudian pada pemilu 1977, PANWASLAK atau BAWASLU belum juga terbentuk untuk mengawasi pemilu. Barulah pada tahun 1982, PANWASLAK ini dibentuk dan masih bagian dari Kementerian Dalam Negeri. Keberhasilan pembentukan panitia pelaksanaan ini seperti memberikan angin segar terhadap sistem pemilu di Indonesia. Kehadirannya sebagai panitia pengawas diharapkan oleh masyarakat sebagai pihak yang independen dan menjunjung tinggi netralitas.

Pada tahun 1955 sebetulnya sudah terdapat Panitia Pemilihan Indonesia (PPI)—yang dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden. Seiring bergulirnya waktu, PPI menghilang. Pada Pemilu tahun 1971—masa Presiden Soeharto—terdapat Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Hanya ada dua pandangan subjektif saya terhadap pembentukan LPU oleh Presiden Soeharto; lembaga itu menjadi lembaga yang independen dan berintegritas atau lembaga yang ada di bawah naungannya itu akan dikontrol penuh oleh kaki-tangannya. Seiring waktu bergulir, LPU ini bertransformasi menjadi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Lembaga seperti PANWASLAK, BAWASLU, LPU, dan KPU dalam lingkup nasional, regional, bahkan sampai ke institusi pendidikan, idealnya merupakan lembaga pengawas yang netral dan independen. Peran dan fungsinya jelas untuk mengawasi jalannya pemilu. Lembaga tersebut tidak berorientasi melakukan kecurangan politik ataupun mendukung pihak yang terlibat dalam pemilu. Lembaga tersebut juga idealnya diisi oleh orang-orang yang bukan dari badan kekuasaan, melainkan diisi oleh orang-orang yang berkompeten. Misalnya, diambil dari lembaga khusus pengawas pemilu.

Kilas Balik

Apa yang dikatakan A. L. Rowse dalam Apa Guna Sejarah perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Sebab, hanya melalui sejarah, fakta sejarah dapat mencuat ke permukaan. Dengan mengerti fakta sejarah yang telah timbul, sejarah dengan sendirinya menjadi objektivitas—yang nilai-nilainya penting untuk dipelajari. Satu hal yang tak pernah luput dari peristiwa sejarah adalah fakta-fakta yang akan timbul ke permukaan. Fakta-fakta juga akan mengumpat, tidak terlihat, apabila seorang yang mempelajari sejarah tak peka dengan fakta sejarah.

Pernyataan A. L. Rowse juga dapat dipertegas oleh penyataan G. W. F. Hegel dalam Apa Guna Sejarah. Ia menyatakan, satu hal yang dapat dipelajari dari sejarah adalah bahwa tak seorang pun pernah mempelajari ‘sesuatu’ dari sejarah. Namun, mereka juga dapat belajar banyak hal dari sejarah. Dengan demikian, sebetulnya belajar dari peristiwa sejarah adalah penting. Akan tetapi, apabila dalam mempelajari sejarah itu kemudian sejarah dipakai untuk kepentingan semata, itu adalah suatu hal yang keliru, terkecuali dipakai untuk upaya-upaya pelurusan sejarah.

Fase penting sejarah Indonesia, khususnya sejarah politik, terlihat dalam hal kepengawasan pemilu. Ketika proses pemilihan Soekarno menjadi presiden, belum ada tim pengawasan terhadap pemilihan tersebut. Pada saat pemilu pertama dilaksanakan, yaitu tahun 1955 juga belum ada tim yang mengawasi. Bahkan, 22 tahun kemudian, yaitu tahun 1977 pun belum ada lembaga khusus yang berfungsi sebagai pengawas. Barulah pada tahun 1982, PANWASLAK terbentuk sebagai panita pengawas. Pembentukan PANWASLAK tersebut berawal dari geliat suara masyarakat yang menuntut kejujuran pada proses pemilu.