Oleh: Afif Fadhlullah Azis

Manusia adalah entitas yang diciptakan paling sempurna diantara ciptaan tuhan lainya, kesempurnaan itu biasa kita sebut sebagai akal, sebuah hal yang tidak diberikan kepada ciptaan tuhan lainya. Adanya akal, manusia bisa lebih beradab dan mampu menciptakan peradaban. Pada proses membentuk peradaban, lahir pemikiran-pemikiran hebat dari berbagai belahan dunia yang tujuan utamanya adalah membentuk masyarakat yang adil dan teratur, seperti apa yang Plato sampaikan dalam bukunya Republik.

Proses membentuk sebuah masyarakat yang adil dan teratur, dewasa ini, akal selalu mendahului kebijakan untuk membentuk sebuah peradaban, di mana dalam pengambilan-nya selalu diiringi dengan diskusi panjang yang disertai dengan konflik batin dan pikiran. Misalnya, founding father kita berbeda pendapat soal sila pertama dalam pancasila yang berbunyi “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”, bunyi sila tersebut dinilai tidak mewakili NKRI, karena NKRI terdiri dari banyak agama dan kepercayaan sehingga perlu diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Tentu hal ini menjadi tema diskusi yang panjang di mana keluasan hati dan pikiran sangat diperlukan sehingga seperti yang kita tahu bahwa sila pertama hari ini adalah sila yang
sudah diubah kalimatnya.

Akal juga digunakan untuk menentukan makna filosofis dari berbagai kebijakan yang diambil, Pancasila adalah salah satu contoh paling relevan dan sila pertama adalah buktinya, penggantian kalimat di sila pertama tentu merubah makna yang ada di dalamnya dan otomatis merubah pandangan atau cita-cita bangsa indonesia yang tadinya hanya berfokus pada islam kemudian berfokus pada setiap pemeluk agama yang berbeda, supaya mendapatkan pengakuan dari negara. Hal ini dilakukan dengan melihat sejarah, tokoh pejuang yang berbeda agama serta pandangan visioner bahwa di NKRI tidak mungkin diisi oleh agama islam saja.

Pemaknaan secara filosofis berlaku dalam mengambil semua kebijakan, mulai dari pembentukan undang-undang (UU) sampai pembentukan perangkat penunjang bernegara (misalnya pembentukan/pemilihan KPU Bawaslu). Pengambilan kebijakan dengan pemaknaan filosofis dilakukan agar mempunyai nilai kehormatan –yang perlu diperhatikan –serta agar masyarakat mempunyai jawaban yang memuaskan sesuai dengan cita-cita bersama yaitu membentuk keadilan dan keteraturan. Kebijakan yang diambil dengan menggunakan pemaknaan filosofis juga tidak dapat diubah oleh perilaku sebagian masyarakat, karena bisa menodai cita-cita bersama serta akan menodai kebijakan, dan pembuat kebijakan itu sendiri.

Selain itu, akal juga dapat menganalisa permasalahan yang terjadi melalui riset yang nantinya dapat digunakan untuk membuat kebijakan yang sesuai. Riset juga dilakukan secara komprehensif supaya tidak menimbulkan kebijakan yang salah, sehingga menimbulkan masalah yang lebih kompleks. Misalnya, karena pemerintah membutuhkan uang untuk membangun infrastruktur, pemerintah membebankan pajak tinggi ke masyarakat yang nantinya pajak tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur. Padahal, pembebanan pajak yang tinggi dapat menimbulkan kemiskinan dan kesulitan hidup bagi masyarakat.

Riset juga menjadi bahan untuk melihat realita secara luas, sehingga dapat dijadikan sumber referensi untuk merancang makna filosofis yang digunakan dalam pembuatan kebijakan. Penentuan makna filosofis yang didasari oleh riset yang disesuaikan dengan cita-cita bersama tentu akan menjadi sebuah jawaban yang memuaskan bagi masyarakat, karena dapat memenuhi pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalam masyarakat.

Sampai di sini, kita dapat memahami bahwa akal dapat digunakan untuk mencari makna filosofis dan meriset secara komprehensif sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan cita-cita bersama sesuai realita masyarakat.

Menyoal pejabat lembaga tinggi KM UMP tanpa pengetahuan filosofis

Pada berita LPM Bhaskara yang berjudul “Ketua KPU-M dan Bawaslu-M KM UMP, Diseleksi oleh Tim Seleksi Bentukan BEM-U dan DPM-U” LPM Bhaskara menyoroti kenetralan dari tim seleksi bentukan BEM-U dan DPM-U. Namun, hal yang menjadi pandangan saya bukanlah hal tersebut, melainkan jawaban yang diberikan oleh
Ketua Panitia Tim Seleksi Umam Udaya yang juga ditambahi oleh Ketua DPM-U Niko, ketika ditanya soal KePres nomor 1 tahun 2022 tentang penetapan tim seleksi yang dibawahi BEM-U dan DPM-U.

Kira-kira jawaban yang dilontarkan oleh Ketua Tim Seleksi seperti ini “Di mana sistem terdahulu dipertanyakan mengenai keefektifan, karena tidak semua orang (mahasiswa) memahami terkait alat kelengkapan sidang, karena hanya sedikit yang tahu dan hanya beberapa yang mempersiapkan untuk PEMILWA, maka dibentuklah tim seleksi,” selanjutnya jawaban ini ditambah oleh Niko selaku ketua DPM-U “DPM-U membuat Undang-undang tentang penyelenggaraan PEMILWA, kemudian mengadakan rapat internal dengan BEM U yang menghasilakn penentuan Tim seleksi yang kemudian dituangkan dalam bentuk keputusan presiden (KePres). Bahwa Ketua KPU dan BAWASLU dipilih dalam atau dibentuk oleh DPM-U dan BEM-U, karena memang idealnya Ketika kita mencari referensi yang ada di pemerintahan, ada tanggungjawab regenerasi kepemimpinan yang dilaksanakan oleh seorang yang memimpin di kala itu”.

Ada poin penting yang saya soroti yaitu pertama adalah pembentukan tim seleksi, hanya berdasarkan ketidaktahuan mahasiswa memahami alat kelengkapan sidang, sehingga hanya sedikit yang mempersiapkan PEMILWA. Tentu sudah menjadi hal yang sangat memalukan di mana lembaga tinggi dipertanyakan tentang tugasnya untuk mengedukasi mahasiswanya dengan baik –jika mereka menjalankan tugasnya dengan baik –maka tidak mungkin ada mahasiswa yang tidak tahu soal alat kelengkapan terlebih yang dipersoalkan adalah mahasiswa yang mempersiapkan PEMILWA yang notabene mereka adalah pejabat yang seharusnya tahu soal PEMILWA.

Kasus ini justru menjadi preseden buruk dan menodai nama lembaga tinggi –di mana ketika pejabat lembaga tinggi tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik, maka yang diubah adalah kebijakan-nya agar sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kita bisa berasumsi, jika nanti lembaga tinggi akan terus seperti ini dan tidak distop mulai dari sekarang, maka dapat menimbulkan abuse of power.

Kedua, Niko selaku ketua DPM-U juga hanya melihat referensi dari pemerintah NKRI tanpa melihat cita-cita KM UMP, tentu pertanyaan yang muncul adalah apakah lembaga tinggi KM UMP hanya ikut-ikutan saja terhadap sistem yang sudah ada? Tentu pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh pembaca yang sudah memahami cita-cita bersama KM UMP. Pernyataan tersebut juga dapat menjadi pandangan, bahwa lembaga tinggi KM UMP hanya mengekor, sehingga hasilnya sangat tidak berkualitas dan penuh tanda tanya.

Pertanyaan dan anggapan yang muncul

Dari kedua hal di atas, kita bisa memahami bahwa lembaga tinggi tidak memperhatikan riset dan penggunaan makna filosofis ketika membuat kebijakan, sehingga hasilnya tidak berkualitas. Ada satu pertanyaan lagi yang membuat pikiran saya terus berbicara, pertanyaan tersebut adalah “Apakah semua kebijakan yang diambil tidak melalui proses pencarian makna dan proses riset?”

Pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab oleh pejabat lembaga tinggi KM UMP, jika jawabanya “tidak” pasti kita bersyukur namun jika jawabanya “iya” pantas saja kualitas lembaga tinggi sangat buruk dengan bukti bahwa mereka menambah masa jabatan dengan diundurnya PEMILWA, serta saya sebagai mahasiswa cair tidak mendapat
manfaat dengan adanya mereka.

Terlepas dari itu kita dapat membedakan jika jawaban yang disampaikan oleh tim seleksi dan DPM-U KM UMP seperti ini “Sesuai dengan AD/ART dan riset yang kami lakukan (tunjukan bukti riset atau tinjauan akademiknya) kami harus membentuk tim seleksi pencalonan dikarenakan untuk memudahkan berjalanya PEMILWA, jika ada yang keberatan silahkan ajukan banding ke MKM-U KM UMP”.

Akhiran

Dari sini kita dapat memahami, bahwa pentingnya akal untuk membuat sebuah kebijakan –untuk membuat masyarakat yang adil dan teratur –akal dapat digunakan untuk memaknai dan melihat pandangan secara luas kebijakan yang akan dibuat sehingga tidak menimbulkan kisruh. Sebuah kebijakan dengan mengesampingkan akal, bisa disebut dengan sampah karena berpotensi menjadi tindak kesewenang-wenangan pembuat kebijakan.

Hal ini berlaku untuk semua pejabat, dari tingkat fakultas sampai dengan tingkat universitas. Jika semua pejabat KM UMP bergerak menggunakan akal yang didasari atas pemaknaan filosofis dan data riset, maka saya yakin 100% pergerakan-pergerakan di KM UMP akan lebih bermakna, mempunyai bobot, dan KM UMP menjadi lebih baik ke depan-nya.