Sumber : Kreatif

Oleh : Azzallea Ega Riesta Christsanda

Juara I Lomba Opini Nasional

Festival Pers Mahasiswa LPM Bhaskara 2022

Bhaskara.id – Huruf a pada kata manusia bisa saja berdiri sebagai bentuk singkat dari adil, sedangkan s di sana mungkin sebagai perwakilan dari kata sosial. Sebagai seseorang dengan eksistensi yang bergantung dengan orang lain, masing-masing dari kita harus menghargai sesama. Kata menghargai di sini merujuk tidak hanya pada melihat orang lain sebagai sesama manusia, tetapi mencoba memposisikan diri dalam setiap permasalahan yang sedang dialami orang tersebut. Sedari kecil, kita dididik dengan kata demokrasi pada mata pelajaran Kewarganegaraan. Begitu pula dibimbing untuk selalu menghormati antar sesama pada mata pelajaran ilmu sosial lainnya. Dari titik itulah, secara sadar dan tidak sadar, sifat sosial dari setiap tuan dan puan telah terbentuk—bahkan seharusnya hingga saat ini—secara sempurna. Dengan dasar yang penulis gambarkan secara singkat di atas, penulis tidak setuju dengan adanya fenomena No Viral, No Justice yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Hingga saat ini, masalah yang mengakar pada masyarakat kita adalah bagaimana keadilan tidak selalu berpihak kepada semua orang, hingga akhirnya ketidakadilan tersebut mendorong setiap individu untuk mencari “suara” dari dunia virtual. Penulis, sebagai seorang mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, menginginkan keadilan yang berlaku bagi tiap-tiap individu. Penulis akan menjabarkan tiga alasan dibalik ketidak setujuan slogan No Viral, No Justice yang mulai menjadi andalan banyak orang dengan penjelasan rinci di setiap poinnya.

Pertama, setiap kasus yang beredar di dunia virtual—seperti media sosial—tidak selalu didasarkan dengan fakta yang aktual. Pihak pendukung dari slogan No Viral, No Justice bisa saja mengatakan bahwa setiap kasus yang diangkat pada media sosial akan menimbulkan keadilan sepadan bagi sang “korban”. Namun, yang ingin penulis tekankan disini—dengan tidak menyinggung “korban”—adalah bagaimana setiap kasus harus diselidiki terlebih dahulu. Banyak contoh kasus yang pada awalnya menyalahkan sang “pelaku”, tetapi pada akhirnya terungkap jika fakta tidak membuktikan hal serupa. Ketika kita tarik lebih lanjut, ini akan membawa pada penghakiman salah satu sisi. Penggiringan opini yang berlandaskan cerita satu pihak saja tentunya tidak bisa memenuhi kriteria penyelesaian masalah nan baik. Contoh lain, ketika ada “korban” yang mengandalkan tagar No Viral, No Justice ini memberi keterangan salah pada ceritanya di media sosial dan menyalahkan “pelaku”, si “pelaku” ini akan mendapat cancel culture dari masyarakat luas. Cancel culture ini tentunya membawa banyak dampak negatif bagi orang tersebut, termasuk bagaimana karir orang itu akan terputus akibat penghakiman satu sisi yang dilakukan oleh orang-orang di luar sana. Hal ini sangat salah karena disamping memberi “hukuman” terhadap sesuatu yang salah, ini pun tidak memberi efek baik bagi kesehatan mental “pelaku” tersebut. Ia pun akan merasa terisolasi dan bisa saja mengalami gangguan kecemasan atau bahkan lebih buruk dari itu.

Kedua, tidak selalu kasus yang diviralkan telah dilaporkan kepada badan berwenang terlebih dahulu. Alasan yang mendasari pendapat ini adalah karena banyaknya kasus di media sosial yang telah diviralkan, tetapi belum diselidiki seluk-beluknya. Di sisi lain adanya ketidakpastian dari kasus tersebut, ini bisa membawa tanda tanya bagi masyarakat terhadap badan peradilan. Padahal dalam kenyataannya, banyak problematika nan beredar di Twitter atau media sosial lain yang belum ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.

Ketiga, dengan adanya kasus dari tagar No Viral, No Justice yang tidak benar, munculah trust issues dari para masyarakat terhadap kasus-kasus yang memang sangat membutuhkan dukungan banyak orang. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya, hal yang menjadi latar belakang kasus No Viral, No Justice adalah rasa empati dan simpati dari masyarakat luas. Dari titik tersebutlah muncul ekspansi pergerakan untuk membela para “korban” yang mana dalam konteks ini sering kali speak up di media sosial mereka masingmasing, seperti membuat thread pada Twitter. Penulis akui, banyak sekali dari kita yang sangat amat baik kepada sesama. Lahir dari fakta tersebut, banyak sekali orang yang ingin turun tangan untuk membantu. Jika pihak pendukung tagar No Viral, No Justice ini berbicara bahwa dengan adanya tagar tersebut setiap orang mampu ikut menegakkan keadilan secara mudah dengan tubuh yang bersantai, ya, penulis tidak membantah hal itu. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah tidak semua masalah pada beranda Anda adalah problematika yang sesuai fakta dan hal ini merupakan sesuatu nan tidak disadari oleh banyak orang. Banyak orang yang berbondong-bondong membela si “korban” dan memberi “cap hitam” pada sang “pelaku”. Masyarakat, atau yang sering juga disebut sebagai netizen, itu tidak sadar hingga akhirnya mendapatkan fakta asli dari sisi yang lain. Kemudian seiring berjalannya waktu, akan semakin banyak masalah dibawah tagar No Viral, No Justice yang memiliki pola sama. Problematika-problematika tersebut lama kelamaan akan menggiring ketidakpercayaan masyarakat dengan masalah yang beredar di lini masa media sosial mereka masing-masing. Padahal bisa saja di masa depan ada satu atau dua masalah yang memang sangat membutuhkan bantuan banyak orang di luar sana.

Untuk merangkum apa saja yang telah penulis bahas pada tulisan ini, penulis tidak setuju dengan slogan No Viral, No Justice yang beredar di masyarakat. Ketidak setujuan ini di dasari pada alasan-alasan yang berhubungan dengan masa depan masing-masing individu. Alasan pertama, slogan tersebut membawa penghakiman salah satu pihak yang tentunya tidak membawa dampak baik bagi pihak lain dan bagi masyarakat luas karena slogan itu tidak selalu dilandaskan oleh fakta nyata dan aktual. Alasan kedua adalah karena hal ini bisa membawa pandangan kurang enak bagi badan peradilan, padahal tidak selalu permasalahan yang ada di beranda kita semua telah dilaporkan terlebih dahulu untuk diselidiki dan diatasi oleh penyidik. Alasan ketiga yang mendasari penulis tidak setuju dengan tagar No Viral, No Justice adalah karena kasus viral yang beredar bisa saja tidak benar sehingga menyebabkan trust issues bagi masyarakat umum. Dengan ini, keadilan memang haruslah ditegakkan. Namun, keadilan yang baik dan benar adalah keadilan yang tidak menghakimi salah satu sisi sebelum mengetahui perspektif lainnya.