Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) menyatakan tetap konsisten menolak dan melawan rencana pemerintah menambang batu andesit di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Bila ada warga yang sudah menerima ganti rugi atau mengajukan persyaratan untuk menerima tambang andesit di Desa Wadas, mereka bukan anggota Gempadewa.

“Kami akan tetap mempertahankan dan menolak Desa Wadas jadi lokasi penambangan. Ini semua untuk kelestarian alam Wadas, tidak hanya untuk kehidupan manusia saja tetapi juga ada hak-hak pohon, cacing dan semua hewan yang hidup di Wadas perlu dipertahankan,” ujar Tokoh Gempadewa, Marsono.

Insin Sutrisno (Ketua Gempadewa) menegaskan Gempadewa adalah organisasi milik masyarakat Desa Wadas yang sengaja dibentuk untuk menolak rencana pemerintah menambang batu andesit di tanah milik warga di Desa Wadas. Seperti diketahui, batu andesit dari Wadas itu akan digunakan pemerintah untuk membangun Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo juga yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Seperti diketahui pula, pemerintah telah memberikan uang ganti rugi kepada sejumlah warga pemilik tanah di Desa Wadas yang sejak awal setuju dengan penambangan batu andesit pada April 2022. Walaupun sudah ditolak, pemerintah terus berupaya untuk mendapatkan batu andesit di Wadas. Sebelumnya, pemerintah sempat melakukan teror dengan mengirimkan ribuan aparat ke Wadas, Pebruari 2022. Setelah itu pemerintah melalui “kaki-tangannya” terus melakukan gerilya untuk menggerogoti pertahanan warga Wadas.

Di Desa Wadas kemudian muncul kelompok warga Wadas yang semula menolak kemudian berubah haluan menjadi “pro bersyarat”. Mereka setuju ada tambang andesit di Wadas tetapi dengan berbagai persyaratan kepada pemerintah. Kelompok ini terus meneror warga yang tidak setuju tambang, seperti bila tidak menyerahkan SPPT akan ditangkap polisi; jika tetap menolak tidak akan mendapatkan apa-apa; dan akan diusir dari Wadas. “Sekali lagi, kami tegaskan itu bukan keputusan resmi dari Gempadewa. Kami tetap tegas menolak tambang andesit,” tambah Insin.

Gempadewa bersikukuh mempertahankan tanahnya karena mereka adalah petani. Mereka mendapatkan penghasilan dari berbagai tanaman yang ditanam di Desa Wadas. Ada durian, kemukus, jahe, kopi, bambu, aren dan masih banyak lainnya.

Salah seorang tokoh masyarakat Desa Wadas, Kamim yang juga anggota Gempadewa menegaskan ia tidak akan menyerahkan tanahnya untuk tambang andesit. Hasil penjualan tanah tidak akan bisa menjamin kehidupan para petani. “Kalau tanah hilang, kami para petani tidak akan hidup. Tanah adalah sumber kehidupan kami,” ujarnya.

Sementara itu Ngatinah anggota Wadon Wadas, sebuah organisasi perlawanan yang beranggotakan perempuan Desa Wadas juga tetap konsisten menolak rencana tambang. “Tanah itu tidak bisa dilepaskan apalagi dijual, tanah adalah kehidupan,” ujarnya.

Selain menghilangkan tanah yang memiskinkan petani, tambang andesit juga berpotensi merusak lingkungan hidup. Tambang juga akan menambah potensi bencana karena bukit-bukit di Wadas yang akan. ditambang itu rawan longsor. Padahal warga Wadas tetap akan tinggal di sana sementara proses penambangan akan berlangsung selama empat tahun.

Sebanyak 27 (dua puluh tujuh) mata air adalah salah satu kekayaan alam yang akan hilang. Bila kondisi alam rusak, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling dirugikan. Apalagi para perempuan Wadas juga menjadi petani, kehilangan tanah akan menyebabkan para perempuan petani kehilangan sumber kehidupannya dan menjerumuskan mereka dalam kubangan kemiskinan.

Dengan berbagai alasan itu, Gempadewa tetap menolak tambang andesit dan meminta Gubernur Jawa Tengah untuk mencabut IPL tambang andesit di Desa Wadas.