Bhaskara.id – Melalui klarifikasi dari Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat atau biasa disebut LPPM pada Senin, 26 Desember 2022 memberikan penjelasan terkait 3 hal utama yang menjadi keresahan para mahasiswa yang akan menjalankan KKN reguler di Ciamis, yaitu mekanisme perizinan, penempatan, serta alokasi dana KKN tahun ini.

Suwarno selaku Ketua LPPM menjelaskan bahwa LPPM mengirim surat kepada bupati, kemudian setelah mendapatkan surat izinnya, panitia menentukan lokasi dimana mempertimbangkan beberapa saran dari universitas juga pemda.

“Sebenarnya untuk perizinan itu kalau universitas sudah mengirim surat ke kecamatan mana saja, itu di dalam surat izinnya yang harus menyampaikan ke kecamatan adalah pihak pemda. Pemda memberikan surat kepada kecamatan dan desa yang akan ditempati sebagai KKN. Nah kalau kecamatan tidak tahu menahu tentang KKN, itu berarti informasinya belum sampai atau kemungkinan surat tidak sampai ke kecamatan,” ujarnya.

Untuk menghindari hal tersebut, panitia sudah ke kecamatan. Kemudian dari beberapa panitia tersebut mengirimkan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) ke desa yang berkewajiban untuk memohon izin akan diselenggarakannya KKN.

“Kalau mahasiswa akan survei ke desa, itu diberi surat izin dari kabupaten juga termasuk surat pengantar dari sini, itu sebenarnya sudah cukup. Kemungkinan Ciamis itu adalah pemda yang jarang ditempati untuk KKN,” jelas Suwarno.

Senada dengan hal tersebut, Suwarno memaparkan bahwasannya penentuan penempatan KKN itu bergantung pada keputusan pemda. Namun demikian, LPPM masih bisa mengajukan beberapa pertimbangan, salah satu di antaranya yakni desa yang terdapat ranting Muhammadiyah sebagai media dakwah.

“Di sisi lain, kemajuan desa juga diperhatikan. Karena di daerah Ciamis itu kalau kita menggunakan desa yang masih belum maju, itu jauh dari kota. Kasihan mahasiswa, itu kita carikan desa yang dekat dengan pinggir jalan raya atau jalan utama. Supaya akses mahasiswa dan DPL itu mudah. Karena nantinya tidak semuanya lulusan UMP ditempatkan di desa, justru tantangan terberatnya di kota” ungkapnya.

Merespon pelaksanaan KKN di desa yang cenderung sudah maju, Abid, seorang mahasiswa Fakultas Farmasi semester 7 menyatakan bahwa hal tersebut bisa menjadi auto kritik tersendiri untuk mahasiswa.

“Ketika mahasiswa ditempatkan di paling pelosok, apakah mahasiswa itu bisa survival gitu. Ketika kita ditempatkan di tempat yang udah enak, segalanya ada apakah bisa survival juga. Tergantung mahasiswanya juga, dimanapun kita belajar pasti ada pembelajaran yang bisa kita ambil,” ucapnya.

Menurutnya ketika ditempatkan di desa yang sudah maju, hal yang akan dihadapi lebih kepada pemberdayaan sumber daya manusianya. Tantangannya yaitu bagaimana mahasiswa bisa menarik masyarakat untuk ikut serta.

Berkaitan dengan hal tersebut, Suwarno juga mengungkapkan bahwa merubah mindset penduduk kota itu tidak mudah. Tantangannya akan lebih berat, salah satunya ketika mengumpulkan orang. “Dikira di kota itu mudah, mengumpulkan orang itu setengah mati di kota itu. Kalau di desa anda sangat dihormati juga disanjung-sanjung, di kota itu beda sekali. Kami sudah KKN di kota dan di desa, tapi kalau anda menghendaki di desa silahkan usul nantinya akan diproses,” tegasnya.

Di sisi lain, Ayuni, seorang mahasiswi Fakultas Hukum semester 7 merasa kaget dengan kenaikan biaya KKN tahun ini. “Di awal pendaftaran tuh masih 1.800.000 ternyata temanku ada yang cek lagi jadi 2.000.000 gitu. Semenjak itu tuh aku kira living costnya nambah, kan sebelumnya 1.800.000, 800.000 nya buat living cost. Nah sebenarnya yang buat naik tuh apa, masih dipertanyakan itu sih,” ujarnya.

Membahas terkait tranparansi dana KKN, Suwarno mengatakan tidak pernah menaikkan anggaran. Anggaran KKN itu yang memutuskan adalah universitas, bukan LPPM. LPPM hanya mengajukan Rencana Anggaran Biaya (RAB) saja.

“Kalau minta bukti RAB seperti itu, silahkan ke WR 2. Yang memutuskan adalah WR 2 melalui audit, kami hanya menerima dari WR 2 berapa. Termasuk kemarin contohnya pembekalan, itu kami usulkan untuk satu kali makan 15.000, tapi oleh tim audit hanya disetujui 14.000. Karena kami hanya menjalankan apa yang diputuskan oleh tim audit universitas,” jelasnya.

Selain itu ditegaskan juga bahwa mahasiswa tidak memiliki hak untuk mengetahuinya karena universitas sudah menggunakan tim audit eksternal untuk mengaudit, terlebih mahasiswa bukan pemegang saham juga bukan perusahaan publik yang harus disampaikan.

“Terbuka itu bukan berarti buka-bukaan gitu. Kalau misalnya RAB yang kita buat menjadi konsumsi oleh mahasiswa sementara itu sesuatu yang abstrak dan belum tentu disetujui ya kan unik nanti. Kalau mau minta, ajukan ke WR 2 baru bisa dicek. Kita ngga ada kewajiban untuk menyampaikan RAB ke siapapun, kita menyampaikan ke universitas untuk dijadikan dasar universitas mengeluarkan pengumuman atau edaran itu sekian dari KKN,” ungkapnya.

Sementara itu, pembayaran KKN dikirimkan ke rekening universitas bukan LPPM. LPPM hanya memberikan surat saja terkait anggaran untuk KKN.

“Untuk kenaikan biaya KKN, itu kita berbasis dengan pengalaman yang sudah-sudah. Kan item kegiatannya ngga berbeda banget, lokasinya yang berbeda. Nah dari situlah kita mencoba menyusun seperti itu dengan banyak penyesuaian,” jelasnya.

Suwarnopun memberikan saran dalam mengatur biaya kehidupan nanti saat KKN bahwa lebih baik masak sendiri, tidak jajan, juga tidak dimasakan oleh orang lain.

“Kan kita masak sendiri cukup, dengan 800.000 untuk living cost dan lain-lain. Panitia itu membuat aturan tidak hanya sekadar membuat, itu sudah diproses yang panjang gitu. 8 jam itu hanya hari kerja kita, nah orang-orang yang di pabrik itu kerja 8 jam dia juga bisa masak gitu. Itu bagaimana kita mengatur waktu saja, toh program KKN bisa dilaksanakan malam atau pagi, tidak harus siang semuanya,” tegasnya.

(Bhas/VI/NC)