Oleh : Garda Sukma Kirana

Minggu pagi yang biasa saja. Hari minggu yang terasa sedikit hambar bagi Deni. Ya, bagaimana tidak hambar, sudah satu bulan Deni menganggur. Ia menganggur bukan tanpa sebab. Melainkan memang belum ada perusahaan yang memanggil dirinya untuk melakukan wawancara kerja. Selama sebulan ini pula, Deni menghabiskan banyak waktu di rumah orangtuanya. Sesekali ia keluar untuk berolahraga. Namun, tetap saja lebih sering untuk di dalam rumah sambil melatih kembali kemampuan Bahasa Inggrisnya.

Deni senang meminum kopi. Pagi itu, selepas olahraga pagi, kemudian dilanjut mandi agar tubuh terasa segar kembali, Deni membuat kopi untuk dirinya. Lemari dapur dibuka, toples berisi kopi langsung diambilnya. Sembari mencari cangkir untuk menyeduk kopi, tiba-tiba saja Ibu Deni keluar kamar,

“Nak, sini, nak.”

Deni mendekat dan bertanya,

“Bagaimana, bu?”

“Kalau kamu mau membuat kopi, sekalian buatkan untuk bapak, ya.”

“Bukankah bapak tidak terlalu suka kopi?”

“Ah, iya, maksud ibu, buatkan minuman sekalian untuk bapak. Biasanya bapak suka minum jahe hangat.”

“Baik, bu.” Jawab Deni sambil kembali menuju dapur untuk menyeduh kopi yang semula akan dibuat, sekaligus membuat wedang jahe untuk bapak.

Selepas selesai membuat dua minuman tersebut, Deni menuju teras menemui bapak yang sedang memijit rokok kreteknya secara perlahan supaya batang rokoknya tidak terlalu keras sehingga lebih nikmat untuk dihisap. Ya, terkadang orang menyukai rokok yang tembakaunya cenderung padat. Tetapi bapak lebih menyukai rokok yang lebih mudah dihisap.

“Pak, ini ada wedang jahe buat bapak.” Ucap Deni yang membawa dua cangkir dengan nampan.

“Eh, iya, terimakasih Deni. Sini, letakkan disini saja.” jawab bapak sembari menunjuk meja teras.

Tanpa pikir Panjang Deni menuruti apa yang bapak perintahkan. Deni ikut duduk menemani bapak sambil menikmati kopi panas. Disaat yang bersamaan, bapak menyalakan korek untuk kreteknya. Selepas hembusan asap pertama, bapak membuka pembicaraan,

“Sudah dapat kerja, den?”

“Wah, belum, pak . . .” jawab Deni yang ragu dan mencoba mengingat lowongan kerja yang telah dilamarnya.

“Di kampus tempat bapak dulu kuliah, ya, sedang ada pembukaan lowongan kerja untuk teknisi kelistrikan. Barangkali kamu cocok, coba saja melamar kesana.”

“Oh, di Universitas Gambar Matahari, pak?”

“Ya, betul.”

“Membahas tempat bapak dulu kuliah, bapak jadi teringat beberapa insiden yang pernah terjadi disepanjang jalan menuju kampus.” Sambung bapak tanpa adanya jawaban dari Deni.

Deni yang pada mulanya tidak tertarik dengan perbincangan pagi itu karena merasa malu belum mendapatkan pekerjaan, seketika memalingkan muka dan mendengarkan cerita bapak. Bapak bercerita tentang buruknya jalan menuju kampus tempat bapak berkuliah dahulu. Saking buruknya, beberapa orang pernah celaka disepanjang jalan tersebut. Bahkan bapak sendiri pernah mengalami insiden kecil yang tiga puluh tahun selepasnya, masih dapat diingat dengan sangat jelas runtutan kejadian tersebut.

Untuk menuju ke kampus, bapak memiliki dua pilihan jalur. Jalur pertama bisa dibilang cukup dekat. Dari rumah orangtua bapak yang berada di pinggiran kota dan dekat pusat oleh-oleh getuk bakar, cukup melewati jalan terobosan dan kemudian mengikuti jalan ke arah Rumah Sehat Margonda. Dari situ hanya tinggal sekitar tiga kilometer bisa sampai kampus. Hanya saja, jalur ini kecil, sempit, banyak truk, juga aspalnya cukup rusak. Sedangkan jalur satunya, perlu sedikit memutar sekitar sepuluh kilometer lebih jauh untuk bisa mencapai kampus. Jalur ini memang jauh. Tapi bisa dibilang nyaman dilalui karena jalannya lebar, halus, dan cenderung tidak ada kendaraan besar. Dan bapak lebih senang lewat jalan ini ketimbang lewat Rumah Sehat Margonda. Ya, selain tidak mau melewati jalan yang rusak dan bisa membuat motor rusak, bapak juga senang berkeliling kota.

Meskipun jarang lewat Rumah Sehat Margonda, bukan berarti bapak tidak pernah sama sekali lewat jalur tersebut. Malam itu, tepatnya hari senin tanggal 27 Desember 2031, bapak pulang larut malam karena ada rapat organisasi. Bapak melihat jam tangannya. Seketika bapak terkejut. Ya, ternyata sudah jam satu malam. Sedangkan esok hari ada kuliah jam delapan pagi. Maka waktu tidurpun berkurang banyak. Belum lagi, pagi-pagi harus membantu emak terlebih dahulu untuk mencuci baju, mencuci piring, mencuci peralatan masak, menyapu, mengepel, dan terkadang emak secara mendadak meminta untuk dicucikan motornya. Lamunanpun buyar ketika bapak mencari kunci motornya. Tiba-tiba saja bapak merasa kehilangan kunci motor. Bapak panik. Takut tidak bisa pulang. Ditengah kepanikannya, bapak tersadar kalau kunci motornya menggantung diikat pinggang.

“Yah… ternyata disini.” Kata bapak dalam hati.

“Coy, mau pulang?” Sapa Bayu, teman bapak yang juga berjalan menuju motornya.

“Iya, Bay. Udah ngantuk”

“Rumah kamu dimana ya? Aku lupa.”

“Situ, dekat pusat oleh-oleh getuk bakar.”

“Oh, situ. Eh, berarti pulang lewat Margonda?”

“Engga, mau lewat daerah Karangwaru yang jalannya halus. Kalau lewat Margonda khawatir. Sudah gelap, jalan berlubang, ngantuk pula.”

“Wah, wah, kamu lupa, ya?”

Bapak terheran dan belum sempat menjawab. Seketika Bayu sudah menyodorkan ponselnya. Disitu tertulis berita “Jembatan Penghubung Kecamatan Dukuh Kecut dan Kecamatan Karangwaru longsor.”

“Bagaimana? Ingat? Jembatan itu kan sudah 2 bulan belum diperbaiki. Kamu pasti lupa karena sudah mengantuk, kan? Hati-hati, ya. Margonda jalannya parah.”

Dengan terpaksa, bapakpun harus melewati Rumah Sehat Margonda yang jalannya cukup buruk untuk dilalui. Bapak mengemudikan motor dibelakang sebuah mobil. Dalam benak pikirannya, bapak ingin mendahului mobil tersebut. Namun, dari arah berlawanan terdapat iring-iringan truk. Ya, dekat kampus bapak memang sedang ada proyek pembangunan yang jam kerjanya siang malam tanpa henti. Mungkin memang karena butuh cepat untuk digunakan, maka otomatis proyek tersebut dikebut. Jadi tidak heran jika proyek ini menyebabkan banyak truk material yang lalu-lalang di jalan mungil itu. Bahkan hingga larut malampun tetap saja masih ada truk yang lewat.

Karena bapak berkendara di belakang mobil, dan sialnya sudah mengantuk, membuat mata bapak kurang awas. Tiba-tiba bapakpun tidak bisa menghindari lubang yang cukup besar dan dalam. Lubang itu membuat kemudi motor bapak berbelok secara mendadak. Karena tidak seimbang, motor bapak roboh. Badan bapak terbanting. Saking kerasnya bantingan, helm bapakpun pecah. Kaki kanan bapak tertindih motor. Tangan bapak luka-luka akibat bergesekan dengan aspal. Bapak tak sadarkan diri.

Insiden tersebut membuat juru parkir di Toko April Maret berlari dan menolong. Juru parkir tersebut mengangkat motor bapak dan mendorongnya menuju parkiran toko. Seorang pelanggan toko yang hendak beranjak dari motornya untuk pergipun mengurungkan niatnya dan langsung berlari menuju bapak yang terbaring di tengah jalan. Tukang nasi goreng yang sedang mendorong gerobakpun ikut terkejut dan seketika berlari menuju tengah jalan. Bapak diangkat oleh pelanggan toko dan penjual nasi goreng.

“Pak-pak, njenengan pegang kakinya. Dipeluk, ya! Saya angkat tubuh bagian tengah ke atas.” Ucap pelanggan toko yang sedikit panik.

“Iya, mas. Ini kitab bawa ke depan toko aja. Yuk, angkat.”

Tubuh bapak diangkat, dibawa kedepan Toko April Maret. Bapak ditidurkan dilantai dekat galon-galon dijajakan di toko itu. Kasir toko keluar dengan muka terheran-heran. Pelanggan toko yang mulanya menggotong bapak, mencoba melepas helm bapak, kemudian membuka jaket yang bapak kenakan. Secara sekilas bapak terlihat tidak apa-apa. Hingga pada akhirnya ketika melihat punggung kaki kanan bapak, ternyata terdapat darah deras yang mengalir. Ya, karena tidak menggunakan sepatu, kaki bapak sobek akibat berciuman dengan aspal rusak.

“Waduh, ini darahnya sudah mulai mengalir deras, mas. Bahaya ini.” ucap pelanggan toko kepada juru parkir dan kasir toko.

“Sebentar, panggil ambulan saja. Parah ini. Orangnya sama sekali tidak sadar.” Ucap kasir toko yang mencoba mencari nomor layanan darurat.

Tiba-tiba saja tangan bapak bergerak. Matanya berkedip. Pelanggan toko mencoba untuk memberi minum. Kepala bapak dipangku juru parkir, mulut bapak disodorkan botol minum oleh pelanggan toko. Bapak terbatuk. Bapak tersadar. Bapak hanya merintih kesakitan. Tidak jelas apa yang diucapnya. Intinya terlihat penderitaan korban kecelakaan. Beruntung ambulan segera datang. Pelanggan toko, juru parkir, dan kasir toko ikut menggotong tubuh bapak bersama petugas kesehatan. Setelah bapak masuk ambulan, kasir toko kembali menuju meja kerjanya. Bapak dibawa ambulan, ditemani juru parkir dan pelanggan toko. Ambulan melesat ke Rumah Sehat Margonda.

“Parah-parah. Jalan sudah banyak memakan korban kok ya tidak kunjung diperbaiki, loh.” Ucap juru parkir.

“Sudah sering terjadi kecelakaan, mas?” Tanya pelanggan toko.

“Baru tadi sore, ada ibu-ibu jatuh. Untung saja tidak sampai seperti ini. Tadi pagipun ada anak SMA yang terjatuh karena terburu-buru, dan kemudian tidak seimbang karena menabrak lubang.” Terang juru parkir.

“Wah, sehari sudah tiga ya, mas?”

“Setiap hari pasti ada saja kejadiannya, mas. Ini kalau pemerintah bisa lebih baik lagi, tidak aka nada kejadian seperti ini, mas. Ya, masa jalan sudah setahun rusak dibiarkan saja. ditambah jembatan Karangwaru rusak dan tidak bisa dilewati masih dibiarkan saja.”

“Itu jalannya sudah bernah diperbaiki belum, ya?”

“Lah… hanya ditambal, mas. Sekitar tiga bulan lalu ditambal. Hanya saja tidak menyeluruh. Kemudian satu bulan berselang rusak kembali. Memang parah kualitas aspalnya. Bahkan warga sudah sampai berencana menambal jalan menggunakan semen dari hasil iuran.”

“Wah, parah. Masa harus warga yang turun tangan menggunakan uang pribadi. Padahal warga sudah bayar pajak, kan?”

“Lah… ya begitu. Keterlaluan memang. Apakah harus didemo dulu ke kantor bupati agar…”

Ambulan berhenti, petugas kesehatan membukakan pintu. Tanpa diperintahkan, semuanya menurunkan bapak dari ambulan. Bapak merintih kesakitan. Sesekali seperti ingin berbicara. Hanya saja yang diucapkannya tidaklah jelas. Tidak bisa dimengerti. Sepanjang Lorong rumah sakit bapak masih merintih kesakitan. Mata bapak masih bisa melihat. Jari tangan bapakpun masih bisa bergerak. Bapak tersadar bahwa dirinya sudah masuk ke IGD. Ada petugas kesehatan yang membersihkan luka pada kaki bapak. Perih rasanya. Tapi hanya rintihan yang bisa dikeluarkan. Ingin rasanya mengatakan sakit. Ingin rasanya menjelaskan ke petugas kesehatan tentang bagian-bagian tubuhnya yang terasa sakit. Kepala yang pusing. Tangan yang tak bisa diangkat. Kaki yang rasanya seperti terjepit. Pinggang yang rasanya seperti dibanting. Perut yang rasanya seperti ditusuk. Seluruh badan bapak terasa sakit. Kepala bapak kembali terasa berat. Matanya sudah bertambah kabur. Dan, setelah petugas kesehatan menusukkan jarum, bapak tak sadarkan diri.

“Mas, mas, bangun mas.” Ucap seseorang dari kejauhan.

“Ah… uh…”

“Mas? Bangun.”

“Aduh… ah… sakit… perih… pegel… ah… aduh… pusing… ah… … aduh… perih…”

“Sakit? Perih?”

“Iya, perih… pegel… aduh… kakiku… kejepit…”

“Oalah ngelindur! Bangun! Kejepit-kejepit… lah, kejepit juga tidak. Makannya kalau tidur jangan terlalu malam! Jadi pusing, kan?”

“Aduh… anakku… mana ya?”

“Anak… anak… sadar bocah! Kuliah! katanya kuliah jam tujuh. Ini sudah setengah tujuh!”

“Eh, iya iya… aduh lupa…”

“Sana, mandi! Terus berangkat kuliah! kuliah aja belum lulus, nikah juga belum, sudah ngelindur punya anak.”

“Iya, iya…. Ini mau mandi, lagi mengumpulkan kesadaran dulu.”

“Sudah, sana, cepat! Katamu jalan jembatan Karangwaru amblas. Jadi hanya bisa lewat Margonda yang otomatis macet. Sana cepat! Nanti telat kuliah!”

“Eh… iya ya… aku semalam mimpi kecelakaan di dekat Margonda, mak!”

“Terus mimpi sudah punya anak juga?”

“Iya, mak.”

“Mengkhayal! Sana mandi!”