Magi Diela tersadar setelah melakukan percobaan bunuh diri dengan cara menggigit pergelangan tangannya. Ia mencoba melarikan diri setelah menjadi korban dari tradisi dari tanah Sumba yang disebut Yappa Mawine atau kawin tangkap. Saat kembali ke rumahnya Magi tidak diam saja, ia mencoba berbagai cara untuk memperjuangkan haknya dan juga hak seluruh Wanita yang menjadi korban tradisi Yappa Mawine.

Seusai saya rampung membaca kisah Magi Diela dalam buku “Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam”, terbesit beberapa pertanyaan. Apakah sebuah tradisi yang di dalamnya terdapat tindak kekerasan seksual harus dilestarikan? Apakah tradisi tersebut dapat dikatakan peninggalan leluhur yang dapat dimuliakan? Bagaimana nasib Wanita korban tradisi Yappa Mawine?

Magi terjebak dalam belenggu adat, di mana ia telah menjadi korban Yappa Mawine dan dijinakkan layaknya binatang. Yappa Mawine sendiri merupakan tradisi di tanah Sumba yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Pada halaman 19 terdapat sebuah kutipan yang menjelaskan tentang tradisi Yappa Mawine. Berikut kutipan penjelasan tentang Yappa Mawine:

“Dalam Kepercayaan adat Sumba memang dikenal dengan adanya kawin culik, yang sudah terjadi sejak zaman nenek moyang mereka. Kawin culik dulu menjadi salah satu upaya untuk menyingkat urusan adat agar tidak memakan biaya serta waktu terlalu lama. Pada umumnya keluarga kedua calon mempelai telah memiliki perjanjian jika akan menempuh cara ini. Ada yang mengatakan bahwa kawin culik juga bisa dijadikan sebagai salah satu solusi jika kelurga laki-laki gagal mencapai kesepakatan dengan keluarga perempuan. Jika ini penyebabnya, maka keluarga perempuan mungkin memang tidak mengetahui rencana tersebut sebelumnya. Setelah calon pengantin perempuan diculik, barulah keluarga perempuan tersebut menyerah dan akhirnya terjadi kesepakatan adat.”

Sahabat Magi yang bernama Dangu Toda tidak membiarkan sahabatnya menjadi korban Yappa Mawine, karena ia tahu betapa tragisnya korban dari tradisi ini. Ia mendatangi kediaman Leba Ali dan memohon kepada Leba Ali agar ia mau membebaskan Magi. Berikut negosiasi yang dicoba oleh Dangu Toda:

“Ama, ko kasih pulang Magi sekarang, tolong.”

Dangu memperingatkan sekali lagi dengan suara lebih pelan, “Daripada ini urusan jadi panjang kita ada lapor ke polisi, nanti Ama jadi malu.”

“Coba sa ko lapor polisi. Belum pernah ada orang kena hukum karena meneggakan adat,” tentang Leba Ali.

“Ko pulang su. Jangan sampai sa bongkar malu, ko punya muka bisa tercoreng sendiri.” (halaman 25)

Magi mencoba bunuh diri untuk lari dari Leba Ali dengan cara menggigit pergelangan tangannya. Magi berhasil lari dari Leba Ali, ia selamat dan pulang ke rumah orang tuanya. Namun, saat ia di rumah tetangganya banyak yang mencemooh Magi sebagaimana kutipan berikut:

“karena su dua malam ko ditangkap dan tidur di rumah Leba Ali, maka ko sudah pasti…”

Ina Bobo memandang ke arah Magi, lalu dengan ragu melanjutkan, “Ko tahu maksud Ina, Ko pasti sudah dibegitukan,” seketika Magi merasa mual. Ingatannya melayang pada malam dimana Leba Ali nyaris memperkosanya lagi, dalam keadaan sadar. Namun, Magi diam. Dia tidak sanggup menceritakan ulang dan menerima reaksi ibunya. “sekarang pasti su tidak ada orang yang mau deng ko.” (halaman 86)

Pada kalimat yang dilontarkan oleh Ina Bobo (ibu Magi) mencerminkan diskriminasi sosial yang diterima Magi selaku korban Yappa Mawine yang berhasil kabur, setelah dua malam terperangkap di rumah Leba Ali. Masyarakat Sumba percaya, bahwa setiap perempuan yang telah diculik pasti akan ditaklukan dengan cara diperkosa sehingga nantinya tidak akan ada lelaki yang mau menikahi perempuan tersebut.

Kekerasan Seksual yang dialami Magi Diela

Menurut World Health Organization (WHO) Kekerasan seksual adalah semua tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperoleh tindakan seksual, atau tindakan lain yang diarahkan pada sesksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban.

Magi Diela sebagai korban dari Yappa Mawine mendapatkan tindak kekerasan seksual oleh para penculik dan Leba Ali. Kekerasan seksual tersebut, mereka sebut untuk menaklukan seorang perempuan yang berhasil mereka tangkap.

“Setelah remasan di dada, laki-laki lain memegang pahanya dengan cara yang menjijikan. Magi menendang, tetapi tangan orang itu justru naik ke arah pangkal paha Magi.” (halaman 41)

Kutipan tersebut merupakan penggalan cerita pada saat Magi diculik. Perlakuan itu Magi dapatkan dari para penculiknya (orang-orang suruhan Leba Ali). Magi berusaha melawan para penculik dengan sekuat tenaga, namun semakin Magi melawan –semakin para penculik menaklukan Magi dengan menyentuh bagian tubuh Magi.

Dari kutipan-kutipan yang tertera, saya dapat menyimpulkan bahwa Magi merupakan korban dari tindak kekerasan seksual. Namun, orang-orang di sekitar Magi menormalisasikan hal itu karena disebut bagian dari tradisi yang ada.

Tradisi yang di dalamnya mengandung kekerasan seksual tidak dapat dikatakan mulia, karena tindakan itu bukan hanya merengut kebebasan dari seseorang, namun juga menciptakan dampak psikologis yang tak remeh.

Dampak psikologis dari tindak kekerasan seksual diantaranya adalah cara berpikir terhadap sesuatu, kestabilan emosi yang rentan, bahkan hingga depresi. Dampak psikologis tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah jenis trauma pasca kejadian kekerasan yang pernah dialami. Hal-hal tersebut tentunya tidak dapat diremehkan, karena ketika korban merasa depresi, cemas, dan was-was, dapat memunculkan keinginan untuk menyakiti dirinya sendiri bahkan hingga mengakhiri kehidupannya agar dapat terbebas dari memori buruk tersebut.

Tradisi Yappa Mawine sangat merugikan pihak perempuan, sehingga tradisi ini tidak layak dimuliakan dengan cara dilestarikan. Mengingat seberapa menyakitkan dampak bagi perempuan yang menjadi korban dari Yappa Mawine. Belum lagi budaya patriarki yang masih kental di dalamnya menyebabkan para wanita korban Yappa Mawine ini, juga mengalami kekerasan fisik ketika menjalani kehidupan berumah tangga.

Penulis: Annisa Nur Azizah